Senja itu kuning keemasan mewarnai langit tempat kuberada. Segerombolan manusia mengerumuniku, dan berbagi tawa canda. Adalah benar, mungkin saat itu aku sempat merasa menjadi raja, kendati tiada mahkota.
Namun takdir tak pernah berjudi dengan manusia. Ada pagi, ada malam. Usai senja, tibalah malam suram nan gerimis.
Aku menggigil, meringis, lalu tersungkur meregang nyawa di atas genangan lumpur, suatu ketika gerombolan manusia yang mengerumuniku telah pergi dariku. Hanya tersisa tangis dan nafas pada batin yang merasa kesepian, serupa dedaunan yang haus akan siraman terang sang surya.
Gerimis itu, kau menghampiriku dan memayungiku. Menepuk ringan punggungku seraya bersuara; tegarlah!
Aku menatapmu. Matamu sayu. Bibirmu tersenyum penuh kasih. Tetapi ekspresimu juga terlihat seakan hendak menemaniku bersama-sama menangisi takdir. Ya, kaulah sahabat yang tersisa kala aku tertikam gelap. Hanya kau...
Aku berbisik pada batin; aku mencintaimu. Aku bersumpah ingin mencintaimu tuk selamanya...
Namun, suatu ketika satu malam telah kulalui ditemani olehmu, ketika sang surya merangkak naik, kau telah menghilang. Samar-samar segalanya seolah sebuah mimpi. Aku tak pernah tahu, apakah kau pernah mencintaiku atau tidak.
Aku hanya ingin tetap mematuhi sumpahku tuk mencintaimu selamanya, tak peduli apakah kau masih ada untukku kelak, atau memang sekadar mimpi.
Lea W
kamar renung, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar