Jumat, 22 Juli 2011

Pegulat Kane

Tepatnya kapan saya tak ingat lagi--mungkin tujuh, delapan, atau bahkan sepuluh tahun silam--dunia sempat 'digilakan' oleh tayangan gulat seperti WWF, Raw is War, dan SmackDown yang ditayangkan oleh stasiun televisi StarSport luar negeri. Bahkan salah satu stasiun televisi Indonesia juga menayangkannya. Dari anak-anak seumuran saya di masa itu, hingga yang setua nenek saya juga gemar menonton gulat.

Namun trend menonton gulat tak bertahan lama di Indonesia. Pada dasarnya budaya berbicara, berbusana, dan bersikap yang ditawarkan oleh tontonan itu terlalu kontras dengan budaya Indonesia. Ditambah lagi bermunculannya kasus anak-anak yang bermain saling berkelahi menirukan gaya-gaya brutal pegulat idola mereka, tak butuh lama para orangtua pun melarang anaknya menonton gulat lagi.

Sebenarnya hal tersebut (dilarang nonton gulat) tak terjadi pada saya. Adapun itu hanya berupa nasihat. Lagipula, saya dan sepupu saya tak pernah bermain kasar meskipun kami sama-sama fans berat tontonan itu. Karena meskipun masih kecil, kami sadar dengan bermain kasar akan menyakiti kawan main yang lain. Dan kami sudah terbiasa bermain dengan hanya menggunakan action figure tanpa saling tonjok-tonjokan menirukan kebodohan anak-anak lain. Kalau main tonjok-tonjokan pun, itu hanya sebatas dua permukaan kulit yang bersentuhan ringan. Tapi, dalam waktu yang hampir tak jauh berbeda, saat itu saya juga terpaksa berhenti nonton gulat. Loh, mengapa?

Hmm..., itu karena StarSport berubah UHF, dan televisi di rumah tak mampu menangkap gelombang stasiun kesayangan itu lagi. Uh, saat itu lumayan kecewa juga. Tapi ya sudahlah, tak ada pesta yang tak pernah berakhir.

Lagipula, orang-orang mengatakan gulat hanyalah tontonan fiksi. Siapa menang siapa kalah semuanya hanya kebohongan yang sudah ditetapkan penulis skenario layaknya sebuah film. Ada benarnya juga. Coba perhatikan, ketika The Rock berada di WWF, setiap detik selalu memasang wajah kerbau, padahal ketika berada di luar WWF ia selalu tersenyum manis bahkan dapat bercanda dan terbahak.

Kesimpulan yang saya ambil--sekadar opini--mungkin gulat WWF (sekarang WWE) memang hanyalah cerita fiktif, namun perkelahian mereka sungguhan. Hal ini bisa terlihat dari darah yang muncul di wajah Triple H ketika bertarung melawan sang bapak mertua, Vince McMahon demi memperebutkan Stephanie McMahon. Dan tak mungkin melakukan rekayasa di depan jutaan mata penonton di sana.

Untuk adegan berbahaya seperti ditabrak truk, mungkin kru telah mempersiapkan trik khusus agar tidak sampai memakan korban jiwa. Seperti stuntman, mereka berkelahi dengan lawan main, namun mereka sebenarnya tak saling bermusuhan. Dan sesekali kru juga harus menyiapkan trik khusus agar si stuntman tidak mati konyol.

Semua demi uang dan pekerjaan. Setelah kamera dimatikan, mungkin mereka akan saling minta maaf. Kalau setelah mereka main gulat dan menjadi terkenal serta mendapat banyak orderan bermain film layar lebar, mungkin mereka pun tak ingin lagi berada di WWF. Contohnya The Rock.

Sekadar nostalgia, baru-baru ini saya coba mencari video pertarungan Kane--pegulat idola saya dulu--di Youtube. Meskipun tak dapat lagi menonton gulat di StarSport, sedikit banyak saya tahu, penampilan Kane (di ring) kini menjadi botak, tanpa baju, dan tak lagi memakai topeng. Namun bagaimana dengan perkembangan karir serta kepopulerannya di WWE? Ugh! Saya tidak tahu! Jujur, saya sedikit penasaran. Dan itu jugalah salah satu alasan yang membuat saya mencari video pertarungannya.

Masih seperti dulu, penampilan Kane seru dan menegangkan. Sayangnya dari tiga video yang didownload, semuanya memerlihatkan kekalahan Glenn Thomas Jacobs (nama asli Kane). Sungguh mengecewakan. Tapi biarlah, penulis skenario sedang sengaja mempermainkan emosi fans Kane, termasuk fans lama seperti saya yang sudah tak lagi mengikuti perkembangannya,

Bila memang gulat WWF (saya lebih suka menyebut WWE dengan sebutan lama) itu fiktif namun pertarungannya nyata, semoga saja suatu saat nanti Kane dapat mengikuti jejak The Rock menjadi bintang film layar lebar dan tak perlu lagi bertarung hingga berdarah-darah. Kasihan juga. Hehehe...

Rabu, 13 Juli 2011

Milikku

Jangan berkata kau sakit
karena aku terluka
jangan pula berkata kau menangis
karena aku bersedih
jasmani dan rohani ini milikku
tersayat takdir
tertikam keadaan
semua ini milikku
deritaku
bukan derita milikku
katakanlah aku bisu
atau tuli
dan hanya terpojok
dalam bayang suram
dan aku hanya tahu
hingga tulang menembus jantung
segala suka harus berpulang padamu
sakit dan sedih ini tetap hanya milikku
adakah malaikat mengulurkan tangan?
tidak
malaikat hidup dalam kepercayaan
ia tak pernah terlihat
tak pernah terdengar
dan tak pernah ada
dalam detik-detik tangisku

Minggu, 15 Mei 2011

Seperempat Tahun Berhenti Menulis Fiksi

Rindu menulis fiksi, inilah yang belakangan ini sering kurasakan. Kalau coba diingat-ingat, terakhir kali aku menulis fiksi sepertinya sudah dua atau tiga bulan lalu--seperempat tahun lalu.

Awalnya aku berhenti menulis fiksi rencananya hanya untuk sejenak, sekadar untuk menghindari jenuh, dan beralih sejenak pada non fiksi, baik tutorial atau pun artikel renungan yang ringan-ringan. Meskipun ini bukan satu-satunya faktor, tapi faktor inilah yang kurasakan sebagai faktor utama dari faktor-faktor lain. Atau boleh juga dikatakan aku menganggapnya sebagai faktor utama, karena faktor yang lain kalau terlintas di benak saja sudah membuatku merasa frustrasi, apalagi harus dibuka di sini--di blog ini. Hehehe...

Ya, tapi perlu ditekankan, faktor yang dimaksudkan di atas adalah faktor yang menyebabkan aku memutuskan untuk berhenti sejenak dalam menulis fiksi, bukan faktor yang menyebabkan aku berhenti menulis fiksi hingga seperempat tahun.

Berhenti menulis fiksi hingga demikian lama adalah satu hal beda yang diluar dugaanku sebelumnya, bukan karena aku tak lagi mencintai kegiatan tersebut. Kalau beberapa penulis memutuskan untuk hanya menulis salah satu mode antara fiksi dan non fiksi, maka sedari pertama kali aku mulai menancapkan tiang bendera pada dunia kepenulisan, aku tak pernah mau membatasi diri sendiri untuk hanya memilih salah satu mode, karena aku menyukai kedua-duanya. Aku berharap dapat mendalami kedua-duanya, tanpa 'menganaktirikan' salah satunya. Dan empat tahun berlalu, aku merasa sangat bersyukur, karena secara tak langsung aku telah memeroleh banyak pelajaran-pelajaran berharga serta bekal dari 'tanah' di mana tiang benderaku pertama kali ditancapkan.

Di sini, aku tak berencana bercerita terlalu banyak tentang faktor berhentinya aku menulis fiksi hingga demikian lama. Aku hanya ingin mengatakan bahwa apa yang menjadi faktor bukanlah sesuatu yang negatif, meskipun aku tak yakin juga untuk menyebutnya sebagai sesuatu yang positif. Aku bukan tengah diserang penyakit stroke dan tak mampu menggerakkan jari-jari tangan untuk mengetik lagi, seperti apa yang diharapkan oleh para musuh-musuhku. Macam betul saja... Hehehe...

Tahun lalu aku juga pernah setengah tahun berhenti menulis--baik fiksi maupun non fiksi--dikarenakan hal yang tak begitu diinginkan. Akibatnya, ketika mulai menulis lagi, aku seperti robot yang kehilangan sebagian memori untuk mengerjakan apa yang hendak dikerjakan. Butuh beberapa lama untuk beradaptasi kembali. Ya, pada dasarnya kemampuan menulis bukanlah suatu ilmu yang mutlak abadi menjadi milik seseorang, tanpa adanya pemeliharaan.

Semoga ide-ide fiksi yang memadati otakku sekarang tak terlalu cepat menjadi kabur. Kalau waktu dan situasinya sudah pas, akan kuubah mereka menjadi berwujud utuh dalam format file MsWord. Semoga...


2L, 2011

Minggu, 01 Mei 2011

Akhir Zaman

Biru tak lagi langit
tiada lagi indah di mata
sisa kisah tawa yang dibalut sejarah
dan airmata kini mengalir
ada sakit oleh derita
ada derita oleh sakit
tiada gerbang menuju masa lalu
tiada pelarian dari masa depan
terseret oleh zaman
menuju ruang eksekusi
hitam pekat


2L, 2011

Senin, 18 April 2011

Nostalgia Tentang Game Final Fantasy VII

Ini bukan sebuah artikel untuk dibaca oleh umum. Ini sekadar nostalgia tentang masa kecil dan juga video game. Ya, kendati kini saya sangat tak memiliki banyak waktu untuk bermain video game lagi, namun saya merasa saya tetap harus mengakui bahwa saya menyenangi video game, khususnya serial Final Fantasy yang dikembangkan oleh perusahaan raksasa Square Enix. Terhadap Final Fantasy, mungkin saya sudah seperti bersumpah setia untuk menjadi fansnya, kendati tidak sampai menjadi maniak.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa orang yang mencintai video game adalah orang yang kekanak-kanakan. Tapi biarlah apa pendapat mereka--karena setiap individu pantas berpendapat--yang penting dari diri saya sendiri, sayalah yang paling tahu bahwa saya masih mampu mengendalikan diri untuk memprioritaskan hal yang lebih penting untuk dilakukan, daripada menjadi seorang pecundang video game semata.

Saya menyukai hal-hal yang bersifat teknologi. Dan saya menganggap video game sebagai salah satunya. Ini sekadar hobi, bukan kebutuhan. Kalau diibaratkan makanan, maka ini sekadar makanan kesukaan, bukan makanan pokok.

Baiklah, saya rasa pembuka dari tulisan ini cukup sampai di sini. Langsung saja berpindah pada pokok. Baru-baru ini saya menemukan sebuah postingan di internet tentang Final Fantasy VII (FF VII). Dan seperti biasanya, saya tak akan melewatkannya. Setelah membaca postingan yang merupakan karya penggemar tersebut, saya menjadi teringat pada salah satu adegan ter-ironis yang pernah ada di game tersebut. Bila Anda juga pernah memainkannya, maka cukup satu detik saja, Anda pasti tahu adegan apa yang saya maksud. Tepat sekali! Kematian salah satu tokoh utama, Aeris.

Tidak tanggung-tanggung, kalau di Suikoden II pemain masih memiliki solusi untuk mencegah kematian Nanami, sementara kematian Aeris yang ada pada FF VII tak mungkin dicegah.

Kalau mau jujur, sebenarnya saya juga tak begitu suka memainkan Aeris di battle, karena terlalu lemah bila dibandingkan dengan Tifa. Tapi bagaimana pun juga saat itu--bertahun-tahun silam ketika saya pertama kali bermain FF VII--saya tidak ikhlas melihat salah satu tokoh yang telah lama mengikuti perjalanan Cloud mati begitu saja tertusuk oleh pedang panjang tokoh antagonis, Sephiroth.

Saya masih mengingat adegan itu dengan jelas. Setelah sekian waktu Aeris berpisah dari kelompok, begitu kembali bertemu dan belum sempat berbicara satu kata pun, Sephiroth tiba-tiba muncul dari atas, melesat turun, kemudian menancapkan pedang panjangnya dari belakang hingga tembus ke depan. Aeris tersentak kaget bercampur rasa sakit, kemudian ambruk seketika. Kristal yang berada di balik ikatan rambutnya terjatuh, bergelinding, meloncat-loncat pada beberapa anak tangga serta menciptakan suara dentingan merdu yang bercampur dengan alunan musik yang menyesakkan dada dan mengentalkan nafas, kemudian tercebur ke dalam genangan lifestream. Cloud segera meraih tubuh Aeris, dan juga panjang lebar memaki Sephiroth. Sayangnya, tak ada gunanya lagi. Aeris telah pergi. Dengan perasaan yang galau, akhirnya Cloud terpaksa harus mengikhlaskan perempuan yang merupakan sahabatnya--dan mungkin juga pujaan hatinya--dihanyutkan ke dalam lifestream. Cloud sendiri yang melakukan itu. Ia membawa tubuh Aeris di tengah genangan lifestream, dan melepaskannya di sana.

Saat menyaksikan adegan tersebut, sebagai pemegang stik, saya yakin Square Enix (saat itu dikenal Square Soft) telah sukses menguasai emosi saya. Ya, untunglah ada sedikit hiburan selepas tragedi tersebut, karena game telah memasuki Disc 2.

Bila Anda yang membaca postingan ini ternyata juga pernah bermain FF VII, lalu bagaimana perasaan Anda ketika menyaksikan adegan ironis tersebut?

Kamis, 07 April 2011

Gempa, Tiada Takut, Ada Cemas

Hari ini aku mendengar teman di FB menuliskan Medan gempa (benar tidak?). Aku berada di Medan, tapi mengapa aku sama sekali tak merasakannya? Aku sulit percaya. Ah, sepertinya aku terlalu mati rasa ya?!

Tetapi, aku yakin, sekali pun aku merasakannya, untuk aku yang sekarang ini, aku pasti mengabaikannya saja dan tetap melanjutkan apa yang tengah kukerjakan. Aku bukan type orang yang takut mati. Bagiku, kalau seseorang memang sudah tiba waktunya, jangankan karena gempa, duduk tersenyum pun bisa senyum hingga mati. Itu namanya kehendak Tuhan.

Namun, entah mengapa kendati aku tak takut gempa, setiap kali terjadi gempa, aku selalu saja merasa sedih atau cemas dengan orang yang kukasihi.

Ketika aku berusia belasan tahun, pernah terjadi sebuah gempa di tengah malam. Kuperhatikan pintu kamarku bergerak hebat. Dinding berbunyi gemeretak. Sesaat kemudian lampu padam. Seorang kakakku menyerukan harus segera menyelamatkan diri. Akhirnya aku, kakak dan juga Mama menerobos gelap keluar dari rumah, dan juga para tetangga. Ah, celakanya masih ada kakakku yang lain di dalam rumah! Bagaimana ini?!

Ternyata, tak lebih dari 10 detik aku keluar, gempa sudah berhenti. Aku merasa tenang. Tak ada yang perlu dicemaskan lagi kupikir. Segalanya telah berlalu.

Setelah sekian tahun, saat setiap mendengar gempa, tetap saja aku mencemaskan orang yang kukasihi. Hal yang sama juga dirasakan oleh keluargaku. Karena itu, kami sekeluarga sudah berjanji, lain kali bila gempa lagi, tak akan ada yang keluar rumah lagi, sekiranya tidak sama-sama keluar. Coba bayangkan, apa tidak menyedihkan bila ada yang selamat, ada yang tidak? Lebih baik sama-sama tidak selamat, bila tak bisa sama-sama selamat.

Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah pemikiran bodoh. Tapi biarlah. Toh, prinsip hidup masing-masing individu memang berbeda 'kan?!

Semua ini datangnya secara refleks dari perasaan, bukan dibuat-buat, dan bukan pula suatu sikap yang dapat dihilangkan begitu saja.

Hingga tulisan ini setengah jadi, sembari online, aku mendapatkan informasi dari internet bahwa ternyata gempa berpusat pada Sibolga, jauh dari tempatku. Pantas saja aku tak merasakannya.

Namun, walau tak merasakannya secara langsung, tadi aku juga sempat refleks merasa tak enak hati saat membaca apa yang dituliskan teman saya di FB.

Sekarang sudah pukul 12.40 tengah malam. Semoga untuk pagi nanti aku tak mendengar adanya korban di Sibolga. Sebagai penutup, kutuliskan sebuah puisi sederhana nan singkat. Berikut:


Aku bukanlah siapa-siapa
yang mampu menentang-Nya
untuk yang kukasihi
aku selalu mengingatmu
setiap kali gempa menghantui
tak pernah berubah
untuk selamanya
ada dirimu dalam doaku

Minggu, 03 April 2011

Tak Pantas dan Juga Tak Mengharapkan Maiden Kiss

Bila suatu hari aku menjadi kumbang, aku tak pantas dan juga tak mengharapkan maiden kiss seperti yang ada pada dongeng Frog Prince. Aku hanya berharap dapat selalu berada di sisi genangan lumpur yang ada di bawahmu. Karena hanya di sanalah aku dapat melihat bayanganmu, rembulan...

Minggu, 06 Maret 2011

Cakrawala Kontras

Malam yang penuh kenangan
dadaku terasa berdarah
menatap jauh
ada cakrawala kontras
sebaris kilat membelahnya
pecah pisah seperti kita
sekontras ekspresimu kini dan dulu
aku setuju; memang semestinya begitu
aku menunduk dan membasahi kaki
dengan setetes kristal kesedihan

Selasa, 01 Maret 2011

Iblis Berparas Malaikat


Senyum hanya sebatas topeng
yang menutupi bahak bengis
terlanjur sudah cinta terkutuk lara
aku ingin kau menangisi cinta
aku ingin kau tenggelam dalam gundah
terkapar tak berdaya
menatapku penuh harap
dan memohon pada batin
dengan bibir yang kehilangan suara



2L, 2011

Senin, 28 Februari 2011

Dialog Imaji Jiwa II

"Kau kembali mengingatnya lagi?"
"Aku memang tak pernah melupakannya..."
"Mengapa?"
"Karena aku tak mampu."
"Kau tak mampu atau tak ingin?"
"Aku tak tahu..."
"Aku tak paham apa yang ada dalam pikiranmu..."
"Cinta memang sulit dipahami, 'kan? Cinta kerap hadir tanpa perlu alasan..."
"Kejar dia!"
"Buah yang indah..., adalah mustahil tuk tumbuh pada ranting kering..."
"Apa maksudmu?"
"Aku juga tak tahu. Aku hanya mengungkapkan apa yang kuketahui, kendati tak sepenuhnya kupahami."
"Kenyataannya dia bukan buah, dan kau juga bukan ranting."
"Aku berharap dia adalah seekor burung kecil."
"Mengapa?"
"Karena aku ingin melihatnya mengepakkan sayap, terbang tinggi dan jauh, kemudian berkembang menjadi yang terdepan."
"Jika demikian, maka dia tak akan berada di dekatmu lagi."
"Sedari awal memang sudah ditakdirkan demikian. Aku hanya berharap..."
"Apa...?"
"Seandainya satu, dua, atau tiga tahun dia tak pernah mengingatku lagi, semoga satu, dua, atau tiga dekade mendatang, dia akan ingat; di sini ada ranting kering yang selalu mengingatnya..."




2L, 2011

Dialog Imaji Jiwa I

"Aku... berharap bisa menjadi android."
"Kau bercanda...?"
"Tidak... Aku bukan ingin menjadi android yang dapat menyelamatkan atau menghancurkan Bumi, seperti yang ada pada cerita masa kecil."
"Lalu...?"
"Aku ingin menjadi android, agar aku tak lagi memiliki emosi; gundah, kehilangan, sedih, takut, kecewa, benci, suka, dan juga cinta..."
"Kau tak mungkin menjadi android..."
"Kalau begitu biarlah aku menjadi gila. Setelah gila, maka aku tak akan memahami apa pun lagi..."
"Kau hanya akan menjadi gila, setelah menerima tekanan batin yang besar."
"Lalu...?"
"Maksudku..., bila kau telah menjadi gila, berarti kau juga sudah terlanjur menjalani semua penderitaan batin hingga mencapai batas..."
"Kapankah batas itu tiba?"
"....."
"Jawablah aku..."
"Sepertinya kau ingin lari dari kenyataan. Kau tak akan mampu."
"Benarkah?"
"Ya..."
"....."
"....."



2L, 2011

War, Blood, and Tear

Demikianlah Bumi kembali menangis
ketika bergolak lagi sekeping tanahnya
oleh para makhluk-makhluk bengis
yang saling berperang dan membunuh
seraya menyeringai puas
ketika darah t'lah mengucur deras
dari tubuh lawan

sesosok tubuh tegap dan kekar
yang dua puluh tahun sudah
menguras tenaga sepasang orangtua
kini tergeletak tak bernyawa
sebelum sempat membalas budi

segalanya hilang dalam semalam
dan bahkan sedetik
tetapi mungkinkah satu dekade
mengembalikan semuanya lagi?
ataukah dua dekade?
ataukah hingga tiga dekade pun
segalanya hanya tinggal kenangan
tuk selamanya

sepasang jompo kehilangan harapan
anak-anak merindukan kecupan bapak
prajurit kehilangan sepasang tangan
dan janda menanti sahutan langit bisu
tapi masih peluru melesat cepat
merenggut nyawa-nyawa malang

bahana tangis membentuk
simfoni penyayat hati
perang belum usai
darah masih mengalir deras
airmata pun masih mengalis jua




2L, 2011

Minggu, 27 Februari 2011

Gadis di Gerimis

Senja itu kuning keemasan mewarnai langit tempat kuberada. Segerombolan manusia mengerumuniku, dan berbagi tawa canda. Adalah benar, mungkin saat itu aku sempat merasa menjadi raja, kendati tiada mahkota.

Namun takdir tak pernah berjudi dengan manusia. Ada pagi, ada malam. Usai senja, tibalah malam suram nan gerimis.

Aku menggigil, meringis, lalu tersungkur meregang nyawa di atas genangan lumpur, suatu ketika gerombolan manusia yang mengerumuniku telah pergi dariku. Hanya tersisa tangis dan nafas pada batin yang merasa kesepian, serupa dedaunan yang haus akan siraman terang sang surya.

Gerimis itu, kau menghampiriku dan memayungiku. Menepuk ringan punggungku seraya bersuara; tegarlah!

Aku menatapmu. Matamu sayu. Bibirmu tersenyum penuh kasih. Tetapi ekspresimu juga terlihat seakan hendak menemaniku bersama-sama menangisi takdir. Ya, kaulah sahabat yang tersisa kala aku tertikam gelap. Hanya kau...

Aku berbisik pada batin; aku mencintaimu. Aku bersumpah ingin mencintaimu tuk selamanya...

Namun, suatu ketika satu malam telah kulalui ditemani olehmu, ketika sang surya merangkak naik, kau telah menghilang. Samar-samar segalanya seolah sebuah mimpi. Aku tak pernah tahu, apakah kau pernah mencintaiku atau tidak.

Aku hanya ingin tetap mematuhi sumpahku tuk mencintaimu selamanya, tak peduli apakah kau masih ada untukku kelak, atau memang sekadar mimpi.



Lea W
kamar renung, 2011

Kamis, 17 Februari 2011

About hu3Aoj

Pelan dan lembut
demikianlah kau berjalan
tinggi dan semakin tinggi jauh
meraih impian yang kian berwujud
oleh kasih dan suci hati
seputih jubah putri bidadari

365 hari silam
langit menangisi satu kisah
mengguyur basah tanah Bumi
di mana kita berada
dan melukis kenangan
tapi belum terang sejagat
padam sudah sesaat

masih mengiang ceritamu kala itu
tentang makhluk kecil meregang nyawa
tentang hiruk-pikuk di luar sana
tentang duafa memerangi angin malam
dan tekad tuk membunuh malaikat
yang tak pernah berperasaan

derai airmata pun tak pernah putus
sejak 365 hari silam hingga kini
dan mungkin jua 365 hari hingga kelak
atau hingga maut menjemput

Nona hu3Aoj
ada kasih bersemayam di sendu mata
ada senyum yang mengoyak amarah
ada bisik yang membangunkan asmara
namun tiada jodoh dan harapan

2L, 2011

Jumat, 04 Februari 2011

Taman Biru

Pada dimensi nun jauh
ada sebuah taman biru bagai surga
di sanalah petualang cinta mencari cinta
pada 1000 eva mereka pernah memberi cinta
dari 1000 eva mereka pernah menerima cinta
sungguh, jatuh cinta 1000 kali itu mudah
namun, patah hati 1 kali itu susah

di sana aku hanya tertidur dan terus tertidur
hingga suaramu memanggilku bangun
aku tak paham apa pun
kau bercerita banyak tentang indah dunia
dan aku kagum senyum kasihmu
hingga aku bersalah t'lah mencintaimu

aku ingin menggenggam tanganmu
melukiskan surga pada riwayatmu
tapi ini sebatas angan tak berwarna
aku hanyalah kartu yang tak sempurna
kasih yang tak pernah ada
dan harus kembali pada tanah gersang
mengikhlaskanmu


2L, 2011

Erard

Alkisah, di kota kecil
ada kisah kelahiran sang malaikat cilik
mereka bersorak; pagi telah tiba
harapan; esok adalah surga dunia

tapi Erard hanyalah malaikat lemah
yang terkutuk iblis
tak ada kasih tak ada tawa tak ada harapan
ia hanya tersungkur meregang nyawa
dalam tangis tanpa suara
simfoni penyayat hati pun kian membahana



2L, 2011

Kamis, 03 Februari 2011

Kisah 1000 Musim

Aku kian paham
makna bahak kejam dari para malaikat
suatu ketika anak manusia polos
yang mereka berikan nafas di bumi
t'lah kian beranjak dewasa
dan belajar memahami cinta

lembut dan romantis
begitulah cinta berkisah
tapi sering lara mengusik batin
hingga jiwa terkapar lelah pula
ketika takdir dan keinginan tak sejalan

tentu, aku pun mencemburui nasib
kala dirimu t'lah raib dalam gundahku
bahkan bayangmu di episode mimpiku
jua t'lah raib tak bersisa

aku masih hidup dalam kenangan
terperangkap di sana
hanya mampu mengenang kisah-kisah
ketika kita bersukacita kemarin

lagi, cinta menawarkan pertarungan
sering darah hanya terbuang sia-sia
tuk diganti suatu harapan kosong
detik ini tersenyum gembira
detik berikutnya menangis lara
kesetiaan sering hanya sebatas topeng
yang menyembunyikan kebohongan

Di sini aku terbodoh
ruang hatiku tak berpenghuni
masih selalu mengenangmu
sosok yang t'lah menjadi pemilik
kunci pada ruang hatiku

aku sadar esok atau lusa pun
kau tak akan kembali menghuninya
dan selamanya jua tak kembali lagi
tapi takdir mengutukku
tuk tetap menunggumu

hingga malam berganti pagi
pagi berganti malam
1000 musim kulewati dengan airmata
aku masih hanya mencintaimu seorang
tuk selamanya

2L, 2011

Rabu, 02 Februari 2011

Coming Soon!

Segera terbit! Twin Anthology karya sastra Liven R & Lea Willsen.

Desain Kaver: Lea Willsen.

Minggu, 09 Januari 2011

Cintamu Membuatnya Menderita

Bila orang yang dicintai mulai menghindarimu, jangan membencinya. Berpikir positif, dia profesional, tak ingin membuatmu menderita karena terus berharap pada harapan kosong.

Tapi ingat pula, kendati jangan membencinya, bukan berarti kau masih boleh terus mengejarnya lagi. Itu akan membuatnya tertekan, bila kalian memang tak mungkin bersama. Cintamu membuatnya menderita. Tak semua cinta berhak diperjuangkan.



2L, 2011