Senin, 18 April 2011

Nostalgia Tentang Game Final Fantasy VII

Ini bukan sebuah artikel untuk dibaca oleh umum. Ini sekadar nostalgia tentang masa kecil dan juga video game. Ya, kendati kini saya sangat tak memiliki banyak waktu untuk bermain video game lagi, namun saya merasa saya tetap harus mengakui bahwa saya menyenangi video game, khususnya serial Final Fantasy yang dikembangkan oleh perusahaan raksasa Square Enix. Terhadap Final Fantasy, mungkin saya sudah seperti bersumpah setia untuk menjadi fansnya, kendati tidak sampai menjadi maniak.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa orang yang mencintai video game adalah orang yang kekanak-kanakan. Tapi biarlah apa pendapat mereka--karena setiap individu pantas berpendapat--yang penting dari diri saya sendiri, sayalah yang paling tahu bahwa saya masih mampu mengendalikan diri untuk memprioritaskan hal yang lebih penting untuk dilakukan, daripada menjadi seorang pecundang video game semata.

Saya menyukai hal-hal yang bersifat teknologi. Dan saya menganggap video game sebagai salah satunya. Ini sekadar hobi, bukan kebutuhan. Kalau diibaratkan makanan, maka ini sekadar makanan kesukaan, bukan makanan pokok.

Baiklah, saya rasa pembuka dari tulisan ini cukup sampai di sini. Langsung saja berpindah pada pokok. Baru-baru ini saya menemukan sebuah postingan di internet tentang Final Fantasy VII (FF VII). Dan seperti biasanya, saya tak akan melewatkannya. Setelah membaca postingan yang merupakan karya penggemar tersebut, saya menjadi teringat pada salah satu adegan ter-ironis yang pernah ada di game tersebut. Bila Anda juga pernah memainkannya, maka cukup satu detik saja, Anda pasti tahu adegan apa yang saya maksud. Tepat sekali! Kematian salah satu tokoh utama, Aeris.

Tidak tanggung-tanggung, kalau di Suikoden II pemain masih memiliki solusi untuk mencegah kematian Nanami, sementara kematian Aeris yang ada pada FF VII tak mungkin dicegah.

Kalau mau jujur, sebenarnya saya juga tak begitu suka memainkan Aeris di battle, karena terlalu lemah bila dibandingkan dengan Tifa. Tapi bagaimana pun juga saat itu--bertahun-tahun silam ketika saya pertama kali bermain FF VII--saya tidak ikhlas melihat salah satu tokoh yang telah lama mengikuti perjalanan Cloud mati begitu saja tertusuk oleh pedang panjang tokoh antagonis, Sephiroth.

Saya masih mengingat adegan itu dengan jelas. Setelah sekian waktu Aeris berpisah dari kelompok, begitu kembali bertemu dan belum sempat berbicara satu kata pun, Sephiroth tiba-tiba muncul dari atas, melesat turun, kemudian menancapkan pedang panjangnya dari belakang hingga tembus ke depan. Aeris tersentak kaget bercampur rasa sakit, kemudian ambruk seketika. Kristal yang berada di balik ikatan rambutnya terjatuh, bergelinding, meloncat-loncat pada beberapa anak tangga serta menciptakan suara dentingan merdu yang bercampur dengan alunan musik yang menyesakkan dada dan mengentalkan nafas, kemudian tercebur ke dalam genangan lifestream. Cloud segera meraih tubuh Aeris, dan juga panjang lebar memaki Sephiroth. Sayangnya, tak ada gunanya lagi. Aeris telah pergi. Dengan perasaan yang galau, akhirnya Cloud terpaksa harus mengikhlaskan perempuan yang merupakan sahabatnya--dan mungkin juga pujaan hatinya--dihanyutkan ke dalam lifestream. Cloud sendiri yang melakukan itu. Ia membawa tubuh Aeris di tengah genangan lifestream, dan melepaskannya di sana.

Saat menyaksikan adegan tersebut, sebagai pemegang stik, saya yakin Square Enix (saat itu dikenal Square Soft) telah sukses menguasai emosi saya. Ya, untunglah ada sedikit hiburan selepas tragedi tersebut, karena game telah memasuki Disc 2.

Bila Anda yang membaca postingan ini ternyata juga pernah bermain FF VII, lalu bagaimana perasaan Anda ketika menyaksikan adegan ironis tersebut?

Kamis, 07 April 2011

Gempa, Tiada Takut, Ada Cemas

Hari ini aku mendengar teman di FB menuliskan Medan gempa (benar tidak?). Aku berada di Medan, tapi mengapa aku sama sekali tak merasakannya? Aku sulit percaya. Ah, sepertinya aku terlalu mati rasa ya?!

Tetapi, aku yakin, sekali pun aku merasakannya, untuk aku yang sekarang ini, aku pasti mengabaikannya saja dan tetap melanjutkan apa yang tengah kukerjakan. Aku bukan type orang yang takut mati. Bagiku, kalau seseorang memang sudah tiba waktunya, jangankan karena gempa, duduk tersenyum pun bisa senyum hingga mati. Itu namanya kehendak Tuhan.

Namun, entah mengapa kendati aku tak takut gempa, setiap kali terjadi gempa, aku selalu saja merasa sedih atau cemas dengan orang yang kukasihi.

Ketika aku berusia belasan tahun, pernah terjadi sebuah gempa di tengah malam. Kuperhatikan pintu kamarku bergerak hebat. Dinding berbunyi gemeretak. Sesaat kemudian lampu padam. Seorang kakakku menyerukan harus segera menyelamatkan diri. Akhirnya aku, kakak dan juga Mama menerobos gelap keluar dari rumah, dan juga para tetangga. Ah, celakanya masih ada kakakku yang lain di dalam rumah! Bagaimana ini?!

Ternyata, tak lebih dari 10 detik aku keluar, gempa sudah berhenti. Aku merasa tenang. Tak ada yang perlu dicemaskan lagi kupikir. Segalanya telah berlalu.

Setelah sekian tahun, saat setiap mendengar gempa, tetap saja aku mencemaskan orang yang kukasihi. Hal yang sama juga dirasakan oleh keluargaku. Karena itu, kami sekeluarga sudah berjanji, lain kali bila gempa lagi, tak akan ada yang keluar rumah lagi, sekiranya tidak sama-sama keluar. Coba bayangkan, apa tidak menyedihkan bila ada yang selamat, ada yang tidak? Lebih baik sama-sama tidak selamat, bila tak bisa sama-sama selamat.

Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah pemikiran bodoh. Tapi biarlah. Toh, prinsip hidup masing-masing individu memang berbeda 'kan?!

Semua ini datangnya secara refleks dari perasaan, bukan dibuat-buat, dan bukan pula suatu sikap yang dapat dihilangkan begitu saja.

Hingga tulisan ini setengah jadi, sembari online, aku mendapatkan informasi dari internet bahwa ternyata gempa berpusat pada Sibolga, jauh dari tempatku. Pantas saja aku tak merasakannya.

Namun, walau tak merasakannya secara langsung, tadi aku juga sempat refleks merasa tak enak hati saat membaca apa yang dituliskan teman saya di FB.

Sekarang sudah pukul 12.40 tengah malam. Semoga untuk pagi nanti aku tak mendengar adanya korban di Sibolga. Sebagai penutup, kutuliskan sebuah puisi sederhana nan singkat. Berikut:


Aku bukanlah siapa-siapa
yang mampu menentang-Nya
untuk yang kukasihi
aku selalu mengingatmu
setiap kali gempa menghantui
tak pernah berubah
untuk selamanya
ada dirimu dalam doaku

Minggu, 03 April 2011

Tak Pantas dan Juga Tak Mengharapkan Maiden Kiss

Bila suatu hari aku menjadi kumbang, aku tak pantas dan juga tak mengharapkan maiden kiss seperti yang ada pada dongeng Frog Prince. Aku hanya berharap dapat selalu berada di sisi genangan lumpur yang ada di bawahmu. Karena hanya di sanalah aku dapat melihat bayanganmu, rembulan...